Minggu, 30 April 2017

Anak Dalam Perspektif Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah (titipan) yang Allah berikan kepada orang tua. Sehingga orang tua memiliki tanggungjawab yang besar dalam membesarkan dan mendidik dalam segala aspek kehidupan. Selain sebagai amanah (titipan) anak juga sebagai keturunan (dzuriyah), tempat kita meneruskan cita-cita dan garis keturunan. Seperti doa Nabi Zakaria AS dalam QS. Ali Imran: 38: Disanalah Zakaria mendoa kepada Rabbnya seraya berkata: “wahai Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah tayyibah (seorang anak yang baik). Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” Anak dapat membuat senang hati kedua orang tuanya manakala anak tersebut berbakti kepada mereka, serta taat dalam menjalankan ibadahnya. Namun anak juga dapat menjadi fitnah (ujian) bagi kedua orang tuanya, manakala anak tersebut tidak berbakti serta tidak taat beribadah apalagi kalau sampai terlibat atau tersangkut dalam masalah kriminalitas atau kenakalan remaja lainnya. Sebaliknya jika ada anak yang membuat kedua orang tuanya senang danbangga dengan berbagai prestasi yang diperolehnya sehingga mengangkat harkat dan martabat keluarga di depan masyarakat maka anak tersebut menjadi perhiasan (zinah) untuk keluarganya.
Agama adalah pondasi yang paling kuat yang bisa membentengi seseorang dari segala hal negatif. Penanaman nilai-nilai agama pada anak harus ditanamkan sejak dini. Jiwa beragama atau kesadaran beragama berujuk pada ruhaniyah individu yang berkaitan kepada Allah SWT dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepadaNya, baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannaas.
Oleh karena itu orang tua hendaknya memperhatikan kebutuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya agar menjadi anak yang sehat, baik jasmani maupun rohani dan berakhlak mulia serta memiliki intelengi yang tinggi.


B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan beberapa masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1.        Apa pengertian anak dalam perspektif islam: Anak sebagai amanah (titipan), dzuriyah (keturunan), fitnah (ujian), dan zinah (perhiasan)?
2.        Bagaimana fitrah beragama bagi anak?
3.        Bagaimana mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak?

C.      Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini selain diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan diantaranya:
1.        Untuk mengetahui pengertian anak sebagai amanah (titipan), dzuriyah (keturunan), fitnah (ujian), dan zinah (perhiasan).
2.        Untuk mengetahui fitrah beragama bagi anak.
3.        Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak.
D.        Metodologi Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, pembahasannya menggunakan metode deskriptif yakni pemaparan yang berkenaan dengan masalah yang diuraikan dan teknik libery riset (tinjauan pustaka).









BAB II
ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.    Anak dalam Perspektif Islam
Dalam islam anak berpotensi menyandang status yang saling berlawanan, bisa membahagiakan, juga bisa mencelakakan. Dalam hal ini arahan dan cara mendidik orang tua terhadap anak sangat menentukan posisi tersebut terutama perilaku/ etika orang tuanya. Karena sesuatu yang terlihat akan lebih kuat efeknya dibandingkan sesuatu yang hanya diketahui melalui indera pendengaran.
Berkaitan dengan eksistensi anak, Al-Quran menyebutkannya dengan beberapa istilah antara lain:
a.        Anak sebagai Amanah (Titipan)
Anak merupakan titipan harta yang paling berharga yang harus dijaga, dirawat dan dididik agar menjadi penyejuk hati. Dalam persoalan ini, kita harus meneladani sikap Nabi Zakaria AS dan Nabi Ibrahim AS. Kedua Nabi ini senantiasa berdoa kepada Allah Maha Pencipta.

       “Dan orang-orang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlFurqon: 74)

          Setelah diberi amanah oleh Allah, Nabi Ibrahim di masa tuanya tidak pernah berhenti bersyukur.

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Isma’il dan Ishaq. Sungguh Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (QS. Ibrahim :39)

Namun, akhir-akhir ini begitu sering kita mendengar, anak justru seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Begitu sering kita baca, kedua orang tua begitu teganya membuang bayi yang baru saja dilahirkan. Ada yang gampang saja memukul anak di luar kemampuan anak itu untuk menerimanya. Disulut rokok, disetrika, bahkan terakhir bisa kita baca, dipukul linggis sampai meninggal. Di sisi lain, ada juga orang tua yang menjadikan anak bagai barang rebutan. Naudzubillahi min dzalik! Sudah sedemikian tipiskah rasa sayang orang tua pada anaknya, padahal amanah mendidik dan merawat anak itulah yang pada saatnya harus dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah, kelak.
Dalam soal mendidik anak, Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya teladan. Pada diri Nabi ditemukan sosok pendidik yang menghargai anak. Rasulullah tidak jarang menyuapi anak-anak kecil dengan kurma yang sudah dimamahnya. Penuhnya hati Rasul dengan kasih sayang, membuat Beliau tidak marah ketika dalam shalatnya yang kusyuk punggung Beliau dinaiki cucunya, Hassan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau malah melamakan sujudnya, hingga cucunya itu turun. Usai shalat, kepada jamaah Rasul meminta maaf karena sujudnya agak lama. “Para jamaah, karena cucuku ini aku sujud agak lama. Dia berlari mengejarku dan naik ke punggungku ketika aku sedang salat (sujud). Aku khawatir akan mencelakakannya kalau aku bangun dari sujud.” (HR Ahmad). Subhanallah, apakah saat ini kita masih memiliki kasih sayang seperti itu?
Sikap kasih sayang dan kelembutanlah, sebenarnya, yang memungkinkan anak menjadi dekat yang memudahkan mereka menerima petuah dan didikan orang tuanya. Orang tua yang miskin kasih sayang akan anaknya, menurut Nabi, akan mengundang murka Allah SWT. Aisyah RA berkata, telah datang seorang badui kepada Nabi. Nabi bertanya,” Apakah kamu suka mencium anakmu?” Dijawab, “Tidak.” Nabi bersabda,” … atau aku kuasakan agar Allah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu.” (HR Bukhari).

b.        Anak sebagai Dzuriyah (Keturunan)
Anak adalah anugerah Allah SWT, tempat kita meneruskan cita-cita dan garis keturunan. SepertidoaNabiZakaria AS:
“Disanalah Zakaria berdoa kepada Rabbnyaserayaberkata: “WahaiRabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah tayyibah (seorang anak yang baik). Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”(QS. Ali Imran: 38)

Ketika Nabi Zakaria AS menyaksikan sendiri bahwa Allah SWT telah memberi karunia kepada Maryam berupa buah-buahan musim panas di musim dingin dan buah-buahan musim dingin di musim panas, saat itulah ia berharap sekali ingin memiliki seorang anak. Saat itu ia telah memasuki usia tua, tulang-tulangnya mulai rapuh dan ramutnya telah memutih. Di sisi lain, istrinya telah tua dan bahkan mandul. Meski demikian, setelah kejadian yang dialami Maryam, ia memiliki keinginan kuat untuk memiliki seorang anak dengan berdoa kepada Allah SWT,

“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah thayyibah.”

Bagi orang tua, tentu ia menyadari betul bahwa anak meupakan karunia dan nikmat yang diberikan Allah kepada pasangan suami istri. Karena salah satu tujuan dari pernikahan adalah sebagai wasilah untuk mendapatkan keturunan. Sehingga, kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga menjadi nikmat tersendiri bagi orang tua. Kehadirannya senantiasa ditunggu-tunggu. Hari demi hari, bulan demi bulan, orang tua akan senantiasa mengikuti perkembangan si janin dan setelah lahir, anak seolah-olah menjadi perhiasan dunia bagi orang tuanya.
Namun fenomena sekarang berbeda halnya, banyak orang tua yang tidak menginginkan banyak anak atau hamil di luar nikah lalu orang tua tersebut menggugurkan janin. Ada pula yang kadung dilahirkan, tetapikarena kehadiran anak tersebut tidak diharapkan lalu orang tua tersebut membuang anaknya ke sungai, memutilasi, dan lain sebagainya. Maka Allah melaknat orang tua yang berbuat demikian dalam firmanNya:

“Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui [513] dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”(Q.S. Al-An’am/6:140).

Para ulama menyebutkan bahwa di antara kriteria dzurriyah thayyibah ini adalah anak yang memiliki perilaku dan sifat yang menawan. Ada yang berpendapat bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang bertakwa kepada Allah, shalih, dan diridhoi oleh Allah. Ada juga yang berpendapat, bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang membawa keberkahan bagi orang tuanya, yakni kebaikan yang banyak, baik urusan dunia maupun agama.
Mendapatkan dzurriyah thayyiban (keturunan yang baik) tentu menjadi dambaan setiap orang tua. Inilah doa orang-orang sholih agar diberikan dzurriyah thayyibah:

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (Q.S. Ibrahim/14:40)

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Alfurqon/25:74)

c.         Anak sebagai Fitnah (Ujian)
Secara lughah makna fitnah yaitu “fatana al-ma’din” artinya logam itu dibakar untuk mengetahui kualitasnya, “fatana fulaanan ’an sya’i” (pakai huruf ta bukan tho) artinya melalaikan atau memalingkan dari sesuatu, atau “fatanahul maal dan fatanathul mar’ah” artinya tergoda dengan harta dan wanita. Jadi sesuai dengan ungkapan di atas, fitnah menurut para ahli bahasa bermakna ujian atau cobaan dalam berbagai macam bentuknya. Ada ujian yang buruk seperti siksaan, kesusahan, penderitaan, penyakit dan lain seagainya. Ada juga ujian berupa kesenangan dunia, kekuasaan, kekayaan, wanita (istri) dan keturunan (anak).

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka) maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)

Dari ayat di atas dijelaskan bahwa terkadang ada istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau bapaknya untuk melakukan perbuatan-peruatan yang tidak dienarkan agama. Contoh lima golongan anak istri yang bisa menjadi musuh:   (1) berbuat baik namun dihalang-halangi oleh anak dan istri mereka.
(2) anak istri yang tidak memerintahkan kepada ketaatan kepada Allah dan tidak melarang peruatan maksiat kepada-Nya.
(3) anak-anak yang memutuskan hubungan kekerabatan.
(4) anak istri yang menyelisihi perintah agama.
(5) anak istri yang mendorongmu untuk mengejar dunia dan bermegah-megahan.
Bahkan pada ayat selanjutnya Allah SWT menyebutkan bahwa anak adalah salah bentuk fitnah (cobaan dan musibah) bagi orang tuanya:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan disisi Allah pahala yang besar.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa posisi anak sebagai ujian.Anak dapat membuat membuat senang hati kedua orang tuanya manakala anak tersebut berbakti kepada mereka serta taat dalam menjalankan ibadah. Namun, anak juga dapat membuat susah kedua orang tuanya manakala tidak berbakti serta tidak taat beribadah. Apalagi sampai terlihat masalah kiminalitas atau kenakalan remaja yang lain, mencoreng nama baik keluarga.
Manakala anak melakukan perbuatan negatif sudah menjadi tugas orang tua untuk menegur, menasehati, dan mengarahkan ke arah yang baik. Bukan malah menyia-nyiakannya. Sebab anak adalah amanah (titipan) serta untuk mendapatkan anak yang baik (dzuriyyah thayyiban). Sehingga anak tersebut bisa menjadi penyejuk hati bagi kedua orang tuanya (qurrota a’yun) diperlukan keseriusan dan ketekunan orang tua dalam membina mereka.
Orang tua hendaknya menjadi figur atau contoh buat anak-anak mereka. Sebab anak merupakan cermin dari orang tua. Misalnya, jika orang tua rajin shalat berjamaah, maka anakpun akan mudah kita ajak shalat berjamaah. Jika orang tua senantiasa berbicara sopan dan lembut, maka anak merekapun akan mudah menirunya. Dan tak kalah pentingnya adalah orang tua hendaknya memperhatikan pergaulan anak-anaknya di dalam masyarakat. Karena temen juga sangat berpengaruh kepada perkembangan kepribadian dan akhlak anak.
Terkadang kita tak perlu heran terhadap mereka yang menyia-nyiakan perintah Allah SWT di dalam hak anak dan keluarga mereka. Seandainya api dunia mengenai anaknya atau nyaris menyentuhnya, pasti ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menghindarkan anaknya dari api tersebut. Adapun api akhirat, maka ia tidak mau mencoba memebaskan anak-anak dan keluarganya dari api tersebut.
Padahal Allah SWT telah berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakakan Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada merekadan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)

Seorang ayah adalah penanggungjawa pertama, lantaran ia sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, maka ia akan ditanya oleh Allah tentang rumah tangganya. Rasulullah SAW bersabda:

“Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya atas kepemimpinannya, dan seorang istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suami dan anaknya, maka ia akan ditanya tentang mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab itu, kedua orang tua harus bangkit melaksanakan kewajiannya terhadap anak, berupa perhatian, pengawasan, dan pendidikan yang baik agar kelak menjadi generasi yang aik memberi manfaat bagi orang tua dan kaum muslimin yang lain.

d.        Anak sebagai Zinah (Perhiasan)
Allah SWT menjadikan segala sesuatu yanga ada di pemukaan bumi seagai perhiasan bagi kehidupan, termasuk di dalamnya adalah harta dan anak-anak. Allah SWT berfirman:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita dan anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik (surga).(QS. Ali Imran:14)

Anak merupakan karunia dan hibah dari Allah SWT sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan orangtua dan sekaligus perhiasan dunia serta belahan jiwa yang berjalan di muka bumi. Perhiasan yang dimaksud adalah bahwa orangtua merasa sangat bangga dan senang atas berbagai prestasi yang diperoleh anak-anaknya sehingga dia pun akan terbawa baik di depan masyarakat.Anak juga bisa menjadi nikmat yang mendatangkan kebahagiaan bagi orang tuanya. Yakni anak yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang tuanya baik di dunia maupun di akhirat.
Seorang yang bijak, jika sudah mengetahui bahwa anak merupakan perhiasan, tentu ia akan menjaga perhiasan tersebut dengan sebaik-baiknya. Yakni dengan membekali pendidikan yang baik. Orang tua adalah sebaik-baiknya pendidik bagi anak. Cukuplah sebagai tanda jasa dan pujian bagi pendidik bahwa seorang hamba akan meraih pahala yang besar setelah wafatnya dan masa umurnya telah habis dn habis masa hidupnya.
Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”

Jadi, seorang pendidik akan meraih derajat yang tinggi, pahala yang berlipat ganda dan meninggalkan pusaka yang mulia di dunia bagi anak cucunya.
Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersada:

“Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu ia berujar, ‘bagaimana mungkin aku mendapatkan derajat ini?’ maka dijawab, ‘hal ini lantaran anakmu telah memohon ampun(istighfar) untukmu.”(HR. Ibnu Majah)

Begitu pula dia akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya sebagai karunia alasan yang baik dari Allah SWT. Dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang eriman dan yang anak cucunya mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Ath-Thur: 21)

B.       Fitrah Beragama bagi Anak
Allah SWT sebagai khaliq (Pencipta) semesta alam telah menurunkan wahyu (agama) kepada para utusanNya (sejak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW) sebagai pedoman hidup bagi manusia di dunia ini, agar memperoleh kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kaidah-kaidah (nilai-nilai) yang terkandung dalam agama selaras dengan fitrah manusia sebagai makhluk beragama (homo religius), yaiyu makhluk yang memiliki naruli beragama, rasa keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama tersebut.
Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang. Namun mengenai arah dan kualitas perkembangannya sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya (faktor lingkungan). Hal ini sebagaimana telah dinyatakan oleh Rasululloh SAW dalam salah satu haditsnya, yaitu:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi.”

Hadits ini diisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orang tua) sangat berperan dalam mempengaruhi fitrah beragama bagi anak.   Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallah maupun habluminannaas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pngenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama. Proses ini terbentuk dipengaruhi dua faktor, yaitu internal (fitrah, potensi beragama) dan eksternal (lingkungan)
1.        Faktor Internal
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama sehingga fitrahnya berkembang secara benar sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Keyakinan bahwa manusia mempunyai fitrah beragama atau keyakinan kepada Tuhan merujuk kepada firman Allah sebagai berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata- kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”(QS. Al-‘Araf: 172)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)



2.        Faktor Eksternal
Faktor fitrah beragama (taqwa) merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan ini tidak akan terjadi apabila tidak ada faktor luar (eksternal) yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu antara lain adalah lingkungan dimana anak itu hidup, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa ada dua hal potensial yang akan mewarnai dan membentuk kepribadian anak yaitu orang tua yang melahirkannya dan lingkungan yang membesarkannya.
1)        Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan potensi lingkingan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (oang tua) dalam perkembangan kesadaran beragama sangatlah dominan. Keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain bagi anak. Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak akan memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat. Keluarga sebagai landasan bagi anak memberikan berbagai macam bentuk dasar.
Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak akan memperoleh latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan kebiasaan berperilaku.
Di dalam keluarga dan hubungan-hubungan antar keluarga terbentuklah pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial yang lebih luas.
Dalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban tanggung jawab yang diharapkan. Keluarga memiliki fungsi, yaitu mendapatkan keturunan dan membesarkan anak; memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban; mengembangkan kepribadian; mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak, dan tanggung jawab.
Mengenai pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan agama bagi anak seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock (1956:434) berpendapat bahwa keluarga merupakan training centre bagi penanaman nilai-nilai (termasuk nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata kama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannya dalam kehidupan seharu-hari, baik secara  sosial kemasyarakatan.

2)        Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai pendidikan sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran, dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial maupun moral-spiritual.
Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orang tua.
Mengenal peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan dan macam-macam penyakit dan cara penyembuhannya. Demikian pula dengan penyembuhan jiwa dan akhlak, keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak (siswa)  sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya itu adalah sebagai berikut: (1) Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawa, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya. (2) Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku pada materi saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. (3) Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (madloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. (4) Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia). (5) Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.

3)        Lingkungan Masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosiokultural yang potensial berpengaruh terhadap perkemangan fitrah beragama anak (terutama remaja). Perkembangan moral bagi anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian individu tidak dapat berkembang, demikian pula dengan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik (Singgih, 2008:61).
Dalam masyarakat anak melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (pee group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulannya menampilakan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka ia akan cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukkan kebobrokan moral, maka anak akan terpengaruh untuk berperilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terjadi apabila anak kurang mendapatkan bimbingan dari orang tuanya.
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock (1956: 436) mengemukakan bahwa, “standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkahlaku para anggotanya.”
Corak perilaku anak merupakan cermin dari perilaku masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, disini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong dan bersikap jujur serta menghindari sikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku masyarakat lainnya (berzina, berjudi, dan minuman keras). Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif atau berpengaruh negatif terhadap perkemangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik tersebut.
Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara melanggar aturan agama).
Warga masyarakat (baik yang memegang kekuasaan atau warga biasa) bersikap melecehkan agama atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak akidah dan akhlak (Yusuf, 2002: 53)
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak, maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana lingkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengan perkembangan komitmen yang kuat dari maisng-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orang tua, pihak sekolah, pejabat pemerintah dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari (Yusuf, 2002:54).

C.      Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan adalah tambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh tubuh bagian tubuh yang secara kuantatif dapat diukur. Sedangkan perkemangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh, kematangan dari belajar.
Pertumbuhan dan perkembangan berjalan menurut norma-norma tertentu. Walaupun demikian seorang anak dalam banyak hal tergantung kepada orang dewasa, misalnya mengkonsumsi makanan, perawatan, bimbingan, perasaan aman, pencegahan penyakit, dan lain sebgainya. Oleh karena itu semua orang yang mendapat tugas mengawasi anak harus mengerti persoalan anak yang sedang tumbuh dan berkembang.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, di antaranya adalah faktor lingkungan. Bila lingkungan karena suatu hal menjadi buruk maka keadaan tersebut hendaknya diubah (dimodifikasi) sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berjalan sebaik-baiknya.
Orang tua hendaknya memperhatikan kebutuhan dalam pertumbuhan Banyak dan perkembangan anak-anaknya agar menjadi anak yang sehat, baik jasmani maupun rohani dan berakhlak mulia serta memiliki intelengi yang tinggi.
Tahapan mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW:
Dalam sulbi hingga 3tahun:
1.         Doa untuk anak agar beroleh hidayah sejak di sulbi ayah
2.         Doa untuk anak ketika masih berupa nuthfah
3.         Dzikir untuk keselamatan bayi yang akan dilahirkan
4.         Kedudukan bayi yg keguguran di sisi Allah
5.         Anjuran menyerukan adzan pada telinga kanan
6.         Mentahnik anak dan mendoakannya
7.         Membentengi bayi dari bencana dengan dzikir dan bersyukur kepada Allah
8.         Hak waris untuk bayi
9.         Kewajiban zakat fitrah atas nama bayi begitu dilahirkan
10.     Memperlakukan bayi dgn kasih sayang meski sebagai anak zina
11.     Merayakan kelahiran bayi dengan aqiqah
12.     Memberi nama yang baik (larangan memberi nama buruk atau nama terlarang
13.     Mencukur rambut bayi, memersihkan, dan menghilangkan kotorannya
14.     Bercengkrama dengan anak kecil memakai lidah dan mulut
15.     Menghargai keberadaan anak dengan memberi julukan bapaknya bapaknya dengan nama anak
16.     Mengkhitan anak
17.     Bersikap baik ketika memanggil anak
18.     Membiarkan anak tetap dalam gendongan meski sedang shalat
                                                                                           
Usia 4 tahun hingga 10 tahun:
1.        Mengajak pergi seraya menasehati dan mengajari
2.        Tidak anyak mencela dan menegur anak
3.        Membimbing anak pada akhlak mulia
4.        Mendoakan kebaikan anak
5.        Meminta ijin kepada anak berkenaan dengan hak mereka
6.        Mengajari anak memelihara rahasia
7.        Memberikan pengarahan dan meluruskan kekeliruan anak saat makan
8.        Memperlakukan anak dengan adik: laki-laki/ perempuan
9.        Memberi semangat dengan hadiah
10.    Mengajari adzan dan shalat

Usia 10 tahun hingga 14 tahun:
1.      Menyeru anak untuk segera tidur sesudah shalat isya
2.      Memisahkan anak ditempat tidur masing-masing sejak usia 19th
3.      Melarang anak tidur telungkup
4.      Membiasakan anak menundukkan pandangan dan menjaga aurat
5.      Tidak memukul anak
6.      Melarang anak laki-laki menyerupai anak perempuan
7.      Mengajari etika: salam, bergaul, berbicara, meminta ijin, dll
8.      Memperlakukan anak perempuan dengan baik dan menjelaskan kedudukan mereka dalam Islam

Usia 15 tahun sampai 18 tahun:
1.      Menganjurkan anak meraih keuntungan sejak pagi buta
2.      Memberi solusi untuk menghaiskan waktu luang
3.      Menanamkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan kecintaan membaca Alquran
4.      Memberi semangat untuk mandiri dan bekerja keras
5.      Mengukuhkan hak menuntut ilmu dan mempelajari alquran
6.      Memerintahkan anak perempuan memakai jilbab jika telah baligh
7.      Mengajari anak berbakti dan beretika kepada orang tua



BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Anak adalah anugerah terindah yang dititipkan (amanah) Allah SWT kepada orang tua. Menjadi tugas dan kewajiban orang tua untuk membesarkan anak dengan penuh kasih sayang sehingga anak adalah pemata hati (zinah). Namun, tak jarang juga orang tua yang menyia-nyiakan sebab kelakuan anaknya (fitnah). Sebab perbuatan negatif yang merusak nama baik keluarga atau ada anak yang mempengaruhi kedua orang tuanya untuk berbuat maksiat. Dari sini, selaku orang tua seharusnya kita belajar kepada doa Nabi Zakaria AS. Meski mengharapkan seorang anak, meski kondisi fisiknya tidak memungkinkan, namun ia tetap mengharapkan keturunan yang baik. Sebab dengan keturunan yang baik inilah orang tua akan merasakan kenikmatan dunia akhirat. Sebab bila kita perhatikan kriteria dzurriyah thayyibah yang telah dikemukakan para ulama, tentu itu merupakan anak ideal dalam pandangan islam.
Oleh sebab itu orang tua harus mengembangkan fitrah beragama bagi anak. Apabila seseorang telah mempedomani agama sebagai sebagai dasar rujukan berperilaku dan sebagai kompas dalam mencapai tujuan hidupnya, maka ia telah menjadi seorang pribadi yang telah terbebaskan dari belenggu kebodohan (jahiliyah) yang sangat diwarnai hawa nafsu (syaithoniyah dan atimiyah), dan memperoleh pencerahan hidup yang sarat dengat nur ilahi (beriman dan beramal shalih).
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak orang tua hendaknya memperhatikan kebutuhan anak-anaknya agar menjadia nak yang sehat, baik jasmani maupun rohani dan berakhlak mulia serta memiliki intelengi yang tinggi. Betapa islam sangat menghargai dan mengakui derajat anak bahkan sejak dari sulbi. Orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang besar atas diri anak baik ia dilahirkan ke dunia ataupun tidak (keguguran). Dan Allah akan memberikan pahala yang berlipat bagi orang yang bersyukur atas ketetapanNya.


B.       Saran
Sebagai orang tua dan atau anak hendaknya saling mengetahui hak dan kewajibannya di dalam keluarga dan lingkungan. Oleh sebab itu pentingnya pengetahuan agama baik itu untuk orangtua maupun anak. Semoga kita yang bisa mendidik anak-anak kita (baik sebagai orang tua ataupun guru) sesuai dengan ajaran islam. Sehingga anak-anak kita dapat bermanfaat bagi kedua orang tua, masyarakat dan agamanya di dunia maupun di akhirat.



DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Syamsu, Dr.H.Ln., M.Pd. 2004. Psikologi Belajar Agama (Perspektif Agama Islam). Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 
Ghuddah Abdul Fattah Abu, 2014. 40 SMART (Sistem Mengajar Ala Rasul SAW Tercinta). Bandung:Halaqoh Ilmu.
Rahman Jamaal ‘Abdur, 2005. Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW. Bandung: Irsyad Baitus Salam.


Tidak ada komentar:

KEMAJEMUKAN RAS DAN ETNIK MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1  Latar belakang Suku bangsa adalah bagian dari suatu bangsa.Suku bangsa mempunyai ciri-ciri mendasar tertentu.Cir...